Wednesday, August 18, 2010

Goodbye, Celana Dalam Hijau Toska (Sungguh teganya wahai Pantat)


I can see the pain living in your eyes
And I know how hard you try
You deserve to have much more
I can feel your heart and I simpathize
And I'll never criticize
All you've ever meant to my life
-Air Supply: Goodbye-
Suka sedih bila mengenangnya..
Tersebutlah seonggok celana dalam yang sangat gw cintai dan banggakan. Sejak gw umur 7 tahun, gw pake tuh celana. Celana dalam yang sejak gw kecil mendampingi pertumbuhan pantat gw. Terbuat dari buah karet pilihan yang disajikan dengan fleksibel sehingga dapat mengikuti bentuk pinggul dan pantat. Di beli dari saudagar cina yang datang dari tempat yang jauh, Matahati Departemen Store Pasar Baru Blok AA No.14. Memang saat petama jumpa celana dalam hijau toska, gw melihatnya sebagai celana dalam yang putih dan polos. Namun, pemakaian yang berlebihan, berminggu2 ditambah eksploitasi kedua sisinya membuat sang celana dalam menjadi berlumut dan meninggalkan sari pati klorofil hijau toska. Sunguh manis dan dramatis nasibnya.
Pada suatu hari yang rintik-rintik. Keganasan pantat gw yang tengah melakukan kudeta merenggut nyawa sang celana dalam untuk selama-lamanya. Berurusan dengan pantat sendiri terkadang lebih sulit ketimbang harus mengejar IPK 3,1. Pantat kita memiliki naluri tersendiri ketika tiba pada suatu kondisi bête atau sedang emosional. Saat-saat kita tidak memperhatikan pantat kita bahkan cenderung menyakitinya adalah penyebab munculnya rasa ingin balas dendam dari pantat kita. Misalkan, seperti bila kita tidak bersih dalam membersihkan najis saat buang air, hanya dicipratin air saja, diolesi sabun saja, hanya pakai tisu saja, dilihati saja bahkan ada yang langsung saja memakai celananya. 
 Pada kasus gw memang agak berbeda, gw cukup rajin dan apik dalam urusan membersihkan pantat, namun satu sifat jelek gw. Gw sangat suka mencari cacing kremi di pantat gw (baca: mari berburu kremi) dan itu sangat menyakiti pantat, apalagi bila gw menggunakan alat bantu penangkap seperti sumpit, linggis atau pukat harimau. Hal yang sangat menyenangkan itu ternyata menyakiti pantat kita. Sakit yang lama dipendam akan menjadi sebuah pembalasan yang menyeramkan.
Ketika itu gw duduk di bangku kuliah semester 3, semester yang sangat ceria. keceriaan bertambah ketika sang dosen berhalangan masuk untuk selamanya (karena doi pensiun, nikah lagi atau memutuskan untuk menjadi Gubernur misalnya). Keceriaan tersebut gw isi dengan bersenda gurau dengan temen-temen gw yang amat bodoh-bodoh, Kutil dan Cebol. Kami bertiga gemar sekali melakukan tindakan kentut (semacam sendawa yang dihembuskan dari pantat). Namun, biasanya kami (gw dan cebol) lebih suka menghembuskannya di muka kutil, kentut terasa lebih afdol. Kebetulan, pada hari itu perut gw bergejolak, pantat memberontak sejadi-jadinya. Akibat martabak sisa minggu kemarin yang gw santap saat sarapan. Padahal rasanya normal-normal saja, hanya agak asam dan sedikit hijau warnanya.
Kebanyakan duduk dan melakukan hal yang kontra-produktif membuat pantat gw mengeluarkan kentut lebih dari kadar biasanya. Seketika saja saat si kentut sudah berada di mulut dubur, gw langsung mengambil posisi terbaik di depan muka kutil yang kurang menarik itu, menungging sejauh 60 derajat dan menyemprotkan kentut terbaik gw minggu ini untuk kutil yang malang. Brashh…
“Anjing…”.
Kutil memaki semaki-makinya, sepertinya kentut gw cukup keras dan berbobot. Kutil yang lagi ngerokok kayaknya harus rela dan ikhlas menghisap nikotin dan tar beserta hukuman dari Tuhan lewat kentut gw ke dalam relung paru-parunya. Kentut gw sudah mengalir di dalam aliran darah kutil.
Gw sama cebol seneng betul, kita ketawa sejadi-jadinya. Mungkin karena ketawa tersebut, angin yang berhembus dikampus pada hari itu terhisap masuk kedalam mulut gw banyak banget. Dan itu memancing pantat gw buat mengeluarkan angin tersebut lebih banyak dan lebih berkualitas. Dalam sekejap gw ngerasa pengen kentut lagi. Tentunya kedashyatan ini ga akan gw tanggung sendirian.
Kutil yang lagi berkonsentrasi ngumpulin angin (maksudnya mo ngebales gw pake kentutnya) dengan membuka mulutnya gede-gede ga nyangka kalo bencana kentut susulan akan begitu cepat menimpanya lagi. Sekilas gw liat si kutil lengah, langsung aja gw mengambil posisi yang paling gaya dan modis untuk melepaskan secercah tembakan angin yang terukukur. Brashhcrtt..
Perkataan anjing lagi dan beberapa tepukan disekitar pantat sebagai konsekuensi candaan yang mulia itu. Cebol ketawa lagi, dia gembira betul. Tapi kenapa gw ga bisa segembira cebol??! kenapa?!!oh kenapa??!. Pikiran gw lagi ga menyambut keberhasilan gw. Sepertinya bukan hanya sekedar angin yang keluar, ada cairan bau kuning hijau kecoklatan yang ikut bersamanya.
“Mama aku mencret di celana…”
to be continued, bersambung ya bang...

1 comment:

  1. Pantat Manusia
    (Maggie Says)
    Dengan judul ini, sebenernya gw pengen banget bikin tulisan yang bermutu, intelek, dan cerdas, soalnya gw terinspirasi ama novelnya Pramoedya Ananta Toer yang tetralogi Pulau Buru, buku pertamanya berjudul “Bumi Manusia”, yang tentu saja sangat cerdas. Tapi berdasarkan Tes IQ yang gw lakukan sendiri, tampaknya gw emang gak secerdas beliau, sehingga yang tersaji berikut ini hanyalah komentar usil dan rada sentimental mengingat yang gw komentari adalah curhatan sobat gw (yang tampaknya sama-tidak-cerdasnya dengan gw) yang berusaha berdamai dengan pantatnya sendiri. Suatu saat, gw pengen bilang ama Radit, bahwa ada hal yang lebih sulit dari berkoordinasi dengan pantat, cebok sambil berdiri, UAS Politik Agraria, ataupun menaikkan IPK… yaitu menyaingi Pramoedya Ananta Toer. Tapi biarinlah, toh gak semua masalah hidup bisa diselesaikan oleh intelektualitas. Ambilah contoh seseorang yang intelek, Pak Habibie misalnya, belum tentu dia bisa secerdik Radit saat mengalami peristiwa kelam seperti kecepirit di kampus. Eits, sudahlah, gak usah kamu membayangkan Pak Habibie kecepirit, itu tidak sopan…
    Gw mengakui, urusan sama pantat emang gampang-gampang susah. Urusan normative misalnya, kita nggak bisa memposisikan pantat secara sembarangan di muka umum (lain halnya di muka Kutil, itu boleh-boleh saja terjadi). Mengapa bisa pantat yang harus dibatasi gerak-geriknya dan bukannya hidung misalnya, sampe sekarang belum gw temukan referensinya. Tapi untuk kasus Radit, kita bisa ambil pesan moralnya, bahwa pantat bila digunakan untuk hal yang tidak terpuji (dalam hal ini mengentuti muka Kutil), akan membalasnya dengan memberikan kesulitan bertubi-bertubi.
    Hal ini seharusnya disadari benar oleh Radit Sang Empunya pantat. Gw sebagai teman yang setiap hari selalu menyaksikan kebiadabannya menghina makhluk-makhluk sekitar, sedikitnya agak tenang dengan pelajaran berharga yang dia dapatkan akibat dosa-dosanya menghina makhluk yang tanpa dihina pun sesungguhnya sudah hina (misalnya si Kutil). Itulah yang gw maksud dengan urusan normative di atas, cuma dengan menyuruh pantat mengerjakan kinerja yang wajar pada posisi yang salah aja bisa dikategorikan sebagai penghinaan. Yah, walaupun gw liat Radit nggak berubah juga, masih aja hobi menghina orang-orang hancur sampe lupa sama bentuk dirinya sendiri yang sama hancur.
    Sejauh ini, untung aja gw sama pantat gw memiliki hubungan yang cukup harmonis.

    to be continued...

    ReplyDelete